Beranda | Artikel
Bijak Menyikapi Keterbatasan Akal Anak
1 hari lalu

Bijak Menyikapi Keterbatasan Akal Anak ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Fiqih Pendidikan Anak yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 25 Muharram 1447 H / 21 Juli 2025 M.

Kajian Tentang Bijak Menyikapi Keterbatasan Akal Anak

Kita perlu memahami bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam enam hari/masa. Padahal Allah mampu menciptakan alam semesta ini dalam satu detik. Karena Allah Maha Kuasa.

اِذَآ اَرَادَ شَيْـًٔاۖ اَنْ يَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ ۝٨٢

“Apabila Allah menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka jadilah ia.” (QS. Yasin [36]: 82)

Sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan alam semesta ini dalam enam hari atau enam masa padahal Dia mampu menciptakannya dalam sekejap mata. Di antara hikmahnya adalah untuk mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu membutuhkan proses. Tidak terjadi dan terbentuk secara tiba-tiba.

Salah satu isi alam semesta adalah manusia, dan proses penciptaan manusia pun berlangsung secara bertahap. Bayi mengalami proses penciptaan di dalam perut ibu selama kurang lebih sembilan bulan. Dimulai dari cairan yang kemudian berubah menjadi darah, lalu menjadi daging. Setelah itu, daging tersebut diberi tulang, lalu dibentuk organ-organ tubuhnya. Baru setelah usia sembilan bulan, bayi terlahir ke muka bumi.

Hal ini berlaku bukan hanya untuk organ tubuh bagian luar, tetapi juga organ-organ bagian dalam salah satunya adalah akal. Akal manusia menjadi sempurna melalui proses. Anak kecil akalnya belum matang. Daya ingatnya masih sangat terbatas, dan cara berpikirnya belum seperti orang dewasa. Kita harus memahami kondisi anak kecil. Otaknya belum matang, daya ingatnya masih sangat terbatas. Hal yang kita anggap remeh bisa menjadi sesuatu yang luar biasa bagi anak kecil. Tidak memahami realita ini dapat menyebabkan orang tua gagal dalam mendidik anaknya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun menghadapi anak-anak kecil di zaman beliau, baik mereka adalah putra-putri beliau sendiri maupun cucu-cucu beliau.

Lihat: Mengawal Perkembangan Intelektual Anak

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah sosok yang juga berinteraksi dengan anak-anak kecil. Jika kita perhatikan, ternyata beliau sangat bijaksana dalam menghadapi keterbatasan akal anak-anak. Sebagai contoh, beberapa poin yang menunjukkan kebijaksanaan beliau.

Pertama, pahamilah bahwa akal anak belum sempurna.

Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berinteraksi dengan anak kecil, beliau betul-betul memahami keterbatasan akalnya. Contohnya adalah seorang pembantu Nabi yang masih kecil, dan sengaja dititipkan oleh ibunya untuk membantu tugas-tugas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Anak itu adalah seorang sahabat yang kita kenal dengan nama Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu. Saat masih kecil, ia diberi tugas oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ketika memberikan tugas kepada Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu , dan ternyata Anas lalai atau lupa menjalankannya, beliau tidak marah-marah. Bahkan, tidak hanya sekadar tidak marah saat ada anggota keluarga Anas yang ingin memarahi Anas, justru Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya. Beliau berkata:

دَعُوه؛ فلو قُدِّر أنْ يَكونَ كانَ.

“Biarkan (jangan dimarahi). Seandainya ditakdirkan oleh Allah, pasti akan terjadi.” (HR Ahmad dan disahihkan oleh Ibnu Hibban serta Al Albani)

Jadi, jangan sampai suasana di rumah itu dipenuhi oleh amarah. Jika anak sering dimarahi, lama-lama ia tidak akan betah tinggal di rumah. Dan ketika ia tidak betah di rumah, ia akan mencari tempat yang membuatnya merasa nyaman, padahal belum tentu tempat itu adalah tempat yang baik.

Oleh karena itu, marilah kita ciptakan suasana rumah yang membuat anak-anak merasa nyaman. Namun, kenyamanan itu bukan berarti membebaskan anak untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan tanpa peduli apakah hal itu baik atau justru merusak. Bukan seperti itu caranya.

Salah satu cara agar rumah menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak bagaimana kita ini kerjaannya tidak marah-marah terus, terutama jika amarah itu ditujukan pada hal-hal yang masih dalam batas kewajaran. Kenapa dikatakan masih dalam batas kewajaran? Karena akal anak memang belum sempurna.

Kedua, bersikap lembut dan tidak menghukum anak secara keras.

Anak kecil belum dicatat amal perbuatannya oleh Allah, karena pena pencatat amal tidak diberlakukan atas tiga golongan, salah satunya adalah anak kecil hingga ia mencapai usia baligh.

Karena anak kecil belum baligh, maka tidak layak jika mereka dihukum dengan keras atas kesalahan yang mereka lakukan. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala saja tidak membebankan hukuman kepada anak kecil. Maka sangat keliru jika ada orang tua yang bersikap lebih keras daripada ketentuan Allah itu sendiri.

Contohnya, Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu . Suatu ketika, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberinya tugas kemungkinan untuk membeli sesuatu atau mengantarkan sesuatu. Saat itu Anas masih kecil.

Anas menjawab: “Demi Allah, aku tidak mau pergi.”

Nabi tidak marah. Namun, setelah mengucapkan itu, Anas menyesal dan akhirnya bersedia melaksanakan tugas dari Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Yang terjadi di tengah jalan, Anas melihat teman-temannya sedang bermain, dan ia tergoda untuk ikut bermain. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ternyata memperhatikan Anas dari kejauhan. Ketika beliau melihat Anas menyimpang dari tugas dan ikut bermain, beliau tidak langsung memarahi.

Nabi mendekat secara perlahan, lalu memegang tengkuk Anas dengan lembut sambil tersenyum, dan berkata: “Wahai Unais (anas kecil), apakah engkau telah pergi sesuai perintahku?”

Anak kita belum dikenai kewajiban oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalaupun kita menyuruh anak untuk melakukan sesuatu, sifatnya adalah mendidik, bukan merupakan beban kewajiban yang harus ditunaikan. Oleh karena itu, jika anak tidak melaksanakan tugas yang kita berikan, jangan marah-marah. Kalaupun ingin menegur, tegurlah dengan cara yang halus, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Ketiga, sesuaikan tuntunan dengan kemampuan berpikir anak.

Anak bukan untuk dibiarkan, tetapi perlu diberi tuntunan. Namun, cara menyampaikan tuntunan tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan berpikir anak. Artinya, jika kita ingin menyampaikan nasihat, arahan, atau pertanyaan, maka bahasanya harus disesuaikan dengan tingkat pemahaman anak. Ketika kita menyuruh anak, itu bukan seperti memberikan instruksi kepada karyawan. Kita sedang memberikan tugas kepada anak kecil yang akalnya masih terbatas. Begitu juga saat menyampaikan nasihat. Hendaknya nasihat itu disampaikan dengan ungkapan-ungkapan yang dapat dicerna oleh anak.

Rasulullah dalam sebuah hadits riwayat Ahmad yang dinilai sahih sanadnya oleh Syaikh Ahmad Syakir suatu hari akan berperang melawan pasukan musuh. Hanya saja, beliau belum mengetahui secara pasti jumlah pasukan musuh. Maka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berusaha mencari informasi, hingga bertemu dua orang anak di jalan. Beliau ingin mengetahui jumlah pasukan musuh dan bertanya kepada dua anak tersebut.

Namun, pertanyaannya bukan, “Berapa jumlah pasukan musuh?” Karena pertanyaan seperti itu terlalu sulit dijawab oleh anak-anak.

Sebaliknya, Nabi bertanya, “Wahai anakku, dalam sehari musuh menyembelih berapa ekor unta?”

Penyembelihan unta adalah aktivitas yang terlihat, seperti kita yang menyembelih hewan kurban jelas dan mudah diketahui.

Anak-anak itu pun langsung menjawab, “Setiap hari mereka menyembelih sepuluh ekor unta.” Angka seperti sepuluh, lima, atau enam adalah angka-angka yang mudah dicerna oleh anak-anak.

Setelah mendengar jawaban tersebut, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menyimpulkan sendiri jumlah pasukan musuh, bukan anak-anak itu. Beliau memperkirakan, jika satu ekor unta bisa mencukupi makanan untuk seratus orang, maka jika musuh menyembelih sepuluh ekor unta setiap hari, berarti jumlah pasukan mereka kira-kira seribu orang.

Lihatlah bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyesuaikan bentuk pertanyaan dengan kemampuan berpikir anak-anak.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian

Mari turut membagikan link download kajian “Bijak Menyikapi Keterbatasan Akal Anak” ini ke jejaring sosial Facebook, Twitter atau yang lainnya. Semoga menjadi pembuka pintu kebaikan bagi kita semua. Jazakumullahu Khairan.

Telegram: t.me/rodjaofficial
Facebook: facebook.com/radiorodja
Twitter: twitter.com/radiorodja
Instagram: instagram.com/radiorodja
Website: www.radiorodja.com

Dapatkan informasi dari Rodja TV, melalui :

Facebook: facebook.com/rodjatvofficial
Twitter: twitter.com/rodjatv
Instagram: instagram.com/rodjatv
Website: www.rodja.tv


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55344-bijak-menyikapi-keterbatasan-akal-anak/